Semoga Bunda Disayang Allah (Bukan Sekedar Resensi)
Ini bukan sekedar resensi buku tapi pengalaman penulis saat jadi sosok pembaca. Buku yang ditulis oleh Darwis Tere Liye ini begitu sangat saya rekomendasikan.
Hari itu aku sangat resah dan kangen keluarga terutama ibu; aku ingin pulang. Aku
berada di suatu desa diperbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah; di
kecamatan Mekarsari; berdampingan dengan kecamatan Rancah yang masih
berkawasan di kabupaten Ciamis. Aku saat itu mengikuti kegiatan pengabdian yang dilaksanakan pihak universitas. KKN (Kuliah kerja Nyata) di daerah.
Kegiatan yang dilakukan disana
adalah mencoba untuk berbaur dengan masyarakat; dan memberi kontribusi
selaku generasi penerus. Kegiatannya lumayan rutin. Dan hanya ada waktu
sore hari untukku menyamankan diri. Menikmati kopi hangat; susu hangat
atau secangkit teh hangat. Sambil menikmati hujan dan membasuh badan
agar tetap segar.
Disaat kawan-kawan yang lain sedang
asik menonton acara hipnotisnya Uya kuya. Aku mengambil sebuah buku
tebal milik kawanku; yang kuliah di jurusan sastra Indonesia. Ada dua
buku diatas lemari dekat televisi itu. Tebal sekali. Jika tidak suka
ceritanya mungkin tidak akan sampai akhir membacanya. Aku mengambil satu
judul dan aku pinjam sama kawanku itu. Aku baru tahu kalau novel-novel
itu akan dijadikannya sebagai bahan penelitian. Aku baca dulu ya!!
“Semoga Bunda di Sayang Allah”
judul tercetak tebal dengan gambar anak perempuan yang sedang berada
diantara pohon-pohon dan alam sekitar. Lebih mirip buku pelajaran
biologi. Semenjak aku buka dan kuhirup wangi kertasnya aku merasa
nyaman; rileks dan tenang. Aku siap mengarunginya.
Aku tak salah baca buku; ini novel
pertama yang membuatku tergila-gila dengan sastra. Aku tak tahu kalau
novel itu ternyata enak dibaca. Aku kira bahasanya akan rumit dan penuh
kiasan yang sulit dicerna. Seperti drama kolosal yang tak pernah aku
mengerti dialognya.
Adalah sebuah bacaan yang aku
rekomendasikan bagi mereka yang peduli dan mau peduli sama mereka para
penyandang. Saat aku membaca pada bab pertama sangat rumit; dengan arah
cerita; tokoh; latar dan alur yang diaduk-aduk. Begitu cepat seperti
beberapa film barat yang menaruh tayangan penasaran diawal cerita.
Pada bab pertama aku menemui
beberapa tokoh Karang; seorang yang ampun berantakan; seorang gadis
kecil yang bermain di pantai bersama orang tuanya; berlibur dengan topi
berbunga-bunga; Pula seorang gadis kecil yang tertawan ombak bersama
beberapa anak lain; Berteriak “Tolong”.. dan “Bertahan sayang!!”; Pula
seorang wanita muslimah yang bermata indah dan seorang ibu yang selalu
bermimpi anak gadis menyebut kata “Aku sayang Buda; Semoga Bunda di
sayang Allah”
Semua tokoh mencampur jadi satu; dimiks sampai pas. Benar-benar mempermainkan pikiran dan perasaan.
Satu hal yang bisa saya bedakan
dengan novel yang selama ini aku baca; adalah semua tokoh-tokoh dalam
novel ini begitu kuat karakternya; sehingga kita bisa merasakan
bagaimana menjadi tokoh-tokoh tersebut secara berbarengan. Entahlah
biasanya hanya pemeran utama saja yang bisa dikatakan “ini gue banget!”
tapi dalam novel ini kita bisa merasakan empati dari berbagai
tokoh-tokohnya. Benar-benar mempermainkan perasaan.
Bagaimana kita merasakan sebagai
Karang; sosok pemuda berantakan; yang dekat dengan minuman keras dan
tidak pernah memangkas rambutnya. Begitu kacau hidupnya karena merasa
bersalah akibat kelalaian yang entah siapa yang lalai. Tapi ia merasa
dialah yang salah. Dunia tidak menyalahkannya atas kejadian 15 tahun
yang lalu. Tak ada seorangpun yang menyalahkannya. Tidak pula ibu gendut
itu.
Tapi rasa sayangnya pada anak-anak membuatnya ingin mengakhiri hidupnya.
Kalau saya berimajinasi bisa
diibaratkan seperti Kak seto; seorang yang memberikan hidupnya pada
anak-anak. Dalam cerita ini Karang demikian namanya. Bagaimana perasaan
seorang beliau jika dengan tidak sengaja membuat celaka anak-anak.
Hingga tewas dimakan ombak ganas.
Waktu pertama aku membacapun. Aku
terkecoh dengan nama Karang tersebut. Karena latarnya di pantai; penuh
ombak dan mengkoyak-koyak kapal. Saya kira Karang berupa batu karang.
Tepat sekali penulis memberi nama
Karang padanya. Karena keras sekali hatinya. Beberapa surat yang datang
tak pernah dibalasnya. Tidak pada gadis berjilbab itu; tidak pula pada
ibu yang setiap bulan menunggu balasan suratnya.
Seorang ibu yang benar-benar
menginginkan kebahagiaan anaknya mencoba merendahkan diri dihadapan
keluarga Karang. Seorang istri dari suami terkaya di kota tersebut.
Bahkan ia rela menginjak perumahan biasa demi menyembuhkan anak
perempuannya. Ibu pengasih itu hanya ingin anaknya bisa menyebutnya
Bunda; itu saja.
Tidak ada lagi yang bisa mengerti
bahasa ibu kecuali Karang; Tidak ada yang bisa mengerti bahasa anak-anak
kecuali Karang. Pada Karanglah dunia meminta untuk membantu ibu yang
mencari jalan itu.
Hampir tak ada yang bisa mengobati
anak perempuannya. Dokter yang dia datangkan dari luar negeri pun angkat
tangan dan malah membuat marah anaknya. Seperti tek terkendali dan
lebih parah lagi ada dokter yang menyebutnya tidak waras; gila. Hati ibu
mana yang tak tersengat saat ada orang memanggil anak kesayangannya
seperti itu.
Anak yang manis; yang hanya bisa
menangis dan tak tahu apa yang akan diucapkannya. Anak penyandang Tuli;
Buta dan otomatis akan Bisu karena tidak mengeri bahasa dan dunia luar.
Dunia yang begitu kejam. Anak
sekecil itu tidak mempunyai daya. Dunianya gelap dan sepi. Hanya
sentuhan tangan ibunya yang bisa menenangkan hatinya. Fitrah. Ya naluri
seorang anak terhadap bundanya; dan naluri seorang bunda terhadap
anaknya.
Aku tak tahu bagaimana merasa
menjadi seorang yang buta dan tuli; yang otomatis bisu. Apakah ada
harapan baginya? Bagiku jika itu aku? Tapi aku bersyukur punya bunda
yang mau merawat kelemahanku; ketidaksempurnaanku; ibu yang selalu
berupaya mencari jalan. Pulang pergi ia menemui pemuda bernama Karang
yang diceritakan dunia itu. Mirip seperti perjuangan ibu Hajar yang
mencari air untuk meredakan tangis ismail. Berulang kali mengirimkan
surat dan bertamu diperumahan kumuh. Dilakukannya juga.
Tapi karang bukannnya tidak peduli;
tapi rasa bersalahnya pada peristiwa yang menewaskan anak perempuan
itu. Membuatnya ingin menjauhi anak-anak agar tidak terjadi kejadian
seperti 15tahun yang lalu itu. Peristiwa tragis kapal yang terkena
badai.
Karang pasti bisa!!! Karang mohon bantu ibu dan anak manis itu. Saya mohon.